Keutamaan bulan
muharram
Segala puji milik Allah
Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi
kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada para kerabat dan para
shahabat beliau seluruhnya, wa ba’du;
Sesungguhnya bulan Allah
bulan al Muharram adalah bulan yang agung dan penuh berkah, ia adalah bulan
yang pertama dalam setahun dan salah satu dari bulan-bulan suci yang mana Allah
berfirman tentangnya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا
عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ
كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ [التوبة : 36]
Artinya: “Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu dalam
bulan yang empat itu…” (QS. at Taubah: 36)
Diriwayatkan dari Abu
Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ
وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Artinya: “Satu tahun ada
12 bulan darinya ada 4 bulan suci: 3 bulan secara berurutan Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab Mudhar antara bulan Jumada dan bulan
Sya’ban”. Hadits riwayat Bukhari, no.2958.
Dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya. Dan firman Allah Ta’ala:
Dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya. Dan firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka
janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”
Maksudnya adalah jangan
berbuat zhalim di bulan-bulan yang suci ini karena berbuat zhalim di dalamnya
lebih ditekankan dan lebih ditegaskan akan dosa dari bulan-bulan lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir firman Allah Ta’ala:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka
janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”
“Maksudnya jangan
berbuat zhalim di setiap bulan darinya, tetapi dikhususkan darinya 4 bulan maka
Allah menjadikannya (4 bulan tadi) suci, mengagungkan kehormatan-kehormatannya
dan menjadikan dosa di dalamnya berlipat dan amal shalih pahalanya di dalamnya
lebih besar (dibanding dengan bulan-bulan lainnya).
Qatadah rahimahullah
berkata ketika menafsirkan ayat;
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya berbuat
zhalim di bulan-bulan suci lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat
zhalim di selainnya, walaupun suatu kezhaliman apapun bentuknya merupakan dosa
besar tetapi Allah Ta’ala mengagungkan suatu perkara sesuai dengan
kehendaknya”.
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah memilih yang suci dari makhluqnya; seperti Ia memilih para malaikat sebagai utusan dan memilih dari manusia sebagai rasul, memilih dari firman-Nya untuk mengingat-Nya, memilih bumi dijadikan sebagai masjid-masjid, memilih dari bulan-bulan bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang suci, memilih dari hari-hari hari Jum’at, memilih dari beberapa malam malam qadar, maka agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah Ta’ala. Sungguh dimuliakannya beberapa perkara karena pengagungan Allah terhadapnya, dan hal ini bagi orang-orang yang diberi kepahaman dan akal”. (diringkas dari tafsir Ibnu katsir, tafsir surat at Taubah ayat 36).
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah memilih yang suci dari makhluqnya; seperti Ia memilih para malaikat sebagai utusan dan memilih dari manusia sebagai rasul, memilih dari firman-Nya untuk mengingat-Nya, memilih bumi dijadikan sebagai masjid-masjid, memilih dari bulan-bulan bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang suci, memilih dari hari-hari hari Jum’at, memilih dari beberapa malam malam qadar, maka agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah Ta’ala. Sungguh dimuliakannya beberapa perkara karena pengagungan Allah terhadapnya, dan hal ini bagi orang-orang yang diberi kepahaman dan akal”. (diringkas dari tafsir Ibnu katsir, tafsir surat at Taubah ayat 36).
Keutamaan memperbanyak
puasa sunnah pada waktu bulan Muharram
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ
اللَّهِ الْمُحَرَّمُ. (رواه مسلم:1982)
Artinya: “Puasa yang
paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa bulan Allah yaitu bulan
Muharram.” (Hadits riwayat Muslim, no. 1982)
Sabda beliau: ” شَهْرُ اللَّهِ” digandengkan bulan ini kepada Allah Ta’ala sebagai penggandengan pengagungan, Al Qari rahimahullah berkata: “Bahwa maksudnya adalah seluruh hari pada bulan Muharram.”
Tetapi telah shahih riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadhan, maka hadits ini dianggap sebagai pemotivasi untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan untuk berpuasa satu bulan penuh.
Dan telah benar riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin belum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulan Muharram kecuali pada akhir hayat beliau sebelum bisa mengerjakan puasa tersebut… (lihat kitab Al Minhaj; Penjelasan an Nawawi terhadap kitab Shahih Muslim)
Allah memilih sesuatu dengan kehendak-Nya baik dari zaman atau tempat
Al ‘Izz Bin Abdus Salam rahimahullah berkata: “Dan pengutamaan antara tempat dan zaman, ada dua macam, yang pertama: berdasarkan dunia… dan yang kedua: pengutamaan berdasarkan agama, hal ini kembali kepada bahwa Allah Ta’ala memberikan kemurahan di dalamnya kepada hamba-Nya dengan mengutamakan pahala orang-orang yang mengerjakannya, seperti pengutamaan pahala puasa Ramadhan atas puasa seluruh bulan, dan demikian pula hari ‘Asyura-’… maka kemuliaan di dalamnya kembali kepada kemurahan dan kebaikan Allah ta’ala kepada para hamba-Nya… (lihat kitab Qawa’idul Ahkam 1/37)
Sabda beliau: ” شَهْرُ اللَّهِ” digandengkan bulan ini kepada Allah Ta’ala sebagai penggandengan pengagungan, Al Qari rahimahullah berkata: “Bahwa maksudnya adalah seluruh hari pada bulan Muharram.”
Tetapi telah shahih riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadhan, maka hadits ini dianggap sebagai pemotivasi untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan untuk berpuasa satu bulan penuh.
Dan telah benar riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin belum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulan Muharram kecuali pada akhir hayat beliau sebelum bisa mengerjakan puasa tersebut… (lihat kitab Al Minhaj; Penjelasan an Nawawi terhadap kitab Shahih Muslim)
Allah memilih sesuatu dengan kehendak-Nya baik dari zaman atau tempat
Al ‘Izz Bin Abdus Salam rahimahullah berkata: “Dan pengutamaan antara tempat dan zaman, ada dua macam, yang pertama: berdasarkan dunia… dan yang kedua: pengutamaan berdasarkan agama, hal ini kembali kepada bahwa Allah Ta’ala memberikan kemurahan di dalamnya kepada hamba-Nya dengan mengutamakan pahala orang-orang yang mengerjakannya, seperti pengutamaan pahala puasa Ramadhan atas puasa seluruh bulan, dan demikian pula hari ‘Asyura-’… maka kemuliaan di dalamnya kembali kepada kemurahan dan kebaikan Allah ta’ala kepada para hamba-Nya… (lihat kitab Qawa’idul Ahkam 1/37)
‘Asyura-’ ditilik dari sejarah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى
الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ
صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ
فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ. (رواه البخاري:1865)
Artinya: “Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ketika Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam telah sampai di kota Madinah, beliaupun melihat orang-orang
Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura-’, maka beliau bertanya: “Ada apa dengan hari
ini?”, mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah
menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka maka Nabi Musapun berpuasa pada
hari itu”, Nabipun bersabda: “Kalau begitu aku lebih berhak (mengikuti) Musa
daripada kalian, beliaupun berpuasa dan memerintahkan ( kaum muslimin ) untuk
berpuasa”. (Hadits riwayat Imam Bukhari, no.1865)
Maksud sabda beliau: هَذَا يَوْمٌ صَالِح, didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:
Maksud sabda beliau: هَذَا يَوْمٌ صَالِح, didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:
هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ
مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا
فَنَحْنُ نَصُومُهُ. (رواه مسلم)
Artinya: “Ini adalah
hari yang agung, Allah Ta’ala telah menyelamatkan pada hari ini Nabi Musa
‘alaihissalam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi
Musapun ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda syukur maka kamipun
berpuasa pada hari ini.”
Dan di riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:
Dan di riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:
وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ
عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا.
Artinya: “Ini adalah
hari dimana berlabuhnya kapal (Nabi Nuh ‘alaihissalam)diatas bukit Judi (Bukit
Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan berpuasauMesopotamia-pent), lalu Nabi Nuh ‘alaihissalam dan Musa karenanya sebagai tanda syukur.”
Hadits : “وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ” (dan beliaupun shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa karenanya), di dalam riwayat al Bukhari rahimahullah juga terdapat lafadz:
Hadits : “وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ” (dan beliaupun shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa karenanya), di dalam riwayat al Bukhari rahimahullah juga terdapat lafadz:
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا. (رواه
البخاري)
Artinya: “Maka Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada para shahabatnya: “Kalian
lebih berhak untuk mengikuti Nabi Musa ‘alaihissalam daripada mereka”. (Hadits
riwayat Bukhari)
Dan berpuasa pada hari ‘Asyura-’ telah dikenal dari mulai zaman jahiliyah sebelum zaman kenabian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), telah benar riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah senantiasa berpuasa pada hari itu…”,
Al Qurthuby rahimahullah berkata: “Kemungkinan orang-orang Quraisy menyandarkan dalam puasanya kepada ajaran orang-orang terdahulu seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dan telah shahih juga riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa karenanya di kota Makkah sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hijrah ke kota Madinah beliau mendapatkan orang-orang Yahudi memperingatinya lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebab dan merekapun menjawabnya sebagaimana yang sudah disebutkan di dalam hadits diatas. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka di dalam peringatan mereka sebagai hari raya sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits Abu Musa ‘alaihissalam, beliau bersabda:
Dan berpuasa pada hari ‘Asyura-’ telah dikenal dari mulai zaman jahiliyah sebelum zaman kenabian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), telah benar riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah senantiasa berpuasa pada hari itu…”,
Al Qurthuby rahimahullah berkata: “Kemungkinan orang-orang Quraisy menyandarkan dalam puasanya kepada ajaran orang-orang terdahulu seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dan telah shahih juga riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa karenanya di kota Makkah sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hijrah ke kota Madinah beliau mendapatkan orang-orang Yahudi memperingatinya lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebab dan merekapun menjawabnya sebagaimana yang sudah disebutkan di dalam hadits diatas. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka di dalam peringatan mereka sebagai hari raya sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits Abu Musa ‘alaihissalam, beliau bersabda:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ
عِيدًا فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه البخاري
Artinya: “Hari ‘Asyura-’
dulunya dianggap oleh orang yahudi sebagai hari raya maka hendaklah kalian
berpuasa pada hari itu”.
Di dalam riwayat Imam
Muslim rahimahullah:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ
الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا. رواه مسلم
Artinya: “Hari ‘Asyura-’
adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan mereka menjadikannya hari raya”.
Di dalam riwayat yang lain milik beliau juga:
Di dalam riwayat yang lain milik beliau juga:
كَانَ أَهْلُ خَيْبَرَ يَصُومُونَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ يَتَّخِذُونَهُ عِيدًا وَيُلْبِسُونَ نِسَاءَهُمْ فِيهِ حُلِيَّهُمْ
وَشَارَتَهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه مسلم
Artinya: “Penduduk
Khaibar (dan mereka pada waktu itu orang-orang Yahudi-pent) berpuasa pada hari
‘asyura-’ dan selalu menjadikannya sebagai hari raya, mereka menghiasi
wanita-wanita mereka dengan emas dan perhiasan mereka, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka berpuasalah kalian pada hari itu”.
(Hadits riwayat Muslim)
Dan yang terlihat dari perintah untuk berpuasa adalah keinginan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi sehingga berpuasa ketika mereka berbuka, karena hari raya tidak boleh berpuasa (di dalamnya-pent). (diringkas dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari)
Dan yang terlihat dari perintah untuk berpuasa adalah keinginan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi sehingga berpuasa ketika mereka berbuka, karena hari raya tidak boleh berpuasa (di dalamnya-pent). (diringkas dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari)
Keutamaan Berpuasa Hari ‘Asyura-’
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ: مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى
صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ . (رواه البخاري )
Artinya: “Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Tidak pernah Aku melihat Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat puasa pada suatu hari,
ia utamakan dari yang lainnya kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura-’ dan bulan
ini yakni bulan Ramadhan”. (Hadits riwayat Bukhari, no. 1867)
Dan Makna “yataharra”
adalah bertekad untuk berpuasa pada hari itu agar mendapatkan ganjarannya dan
bersemangat untuk mengerjakannya.
Dan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى
اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. (رواه مسلم :1976)
Artinya: “Berpuasa pada
hari ‘Asyura-’ aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dosa) tahun yang
sebelumnya”. (Hadits riwayat Muslim, no.1976)
Ini adalah dari
kemuliaan Allah bagi kita dengan Ia berikan kepada kita berpuasa satu hari
sebagai penghapusan dosa-dosa selama satu tahun penuh, dan Allah Ta’ala Maha
mempunyai kemuliaan yang sangat agung.
Hari apakah hari ‘Asyura-’?
An Nawawi rahimahullah berkata:
“Kata ‘Asyura-’ dan Tasu’a-’ adalah dua nama yang dipanjangkan, inilah yang
masyhur di kitab-kitab bahasa. Para shahabat kami berkata: ” ‘Asyura-’ adalah
hari ke sepuluh dari bulan al Muharram dan Tasu’a-’ adalah hari kesembilan
darinya… begitulah pendapat jumhur ulama … dan begitulah maksud yang terlihat
jelas dari beberapa hadits dan ketentuan dari muthlak lafadznya, dan dialah
yang dikenal oleh para ahli bahasa. (lihat kitab Majmu’ karya an Nawawi)
Ia adalah istilah yang
ada dalam Islam tidak dikenal zaman jahiliyah. (lihat kitab Kasysyaful Qina’
juz:2, puasa muharram ).Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: ” ‘Asyura-’ adalah
hari kesepuluh dari bulan Al Muharram, dan ini adalah pendapat Sa’id Bin
Musayyib dan Hasan rahimahumallah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ. (رواه الترمذي)
Artinya: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa hari ‘Asyura-’ hari
kesepuluh dari bulan Muharram”. Hadits riwayat Tirmidzi, beliau berkata:
“Hadits ini hasan shahih”.
Dianjurkan puasa Tasu’a-’ dan ‘Asyura-’
Dianjurkan puasa Tasu’a-’ dan ‘Asyura-’
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قال: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ
يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه مسلم:1916 )
Artinya: “Abdullah Bin
Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata: “Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dan memerintahkan
(umatnya) untuk berpuasa pada hari itu, mereka berkata: “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan
orang-orang Yahudi dan Nashrani, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Apabila datang tahun depan, jika Allah menghendaki maka kita akan
berpuasa pada hari kesembilan”, beliau (Abdullah Bin Abbas) radhiyallahu
‘anhuma berkata: “Dan tidaklah datang tahun depan hingga datangnya wafat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Hadits riwayat Muslim, no. 1916)
Imam Syafi’ie rahimahullah , para shahabatnya, Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah serta yang lainnya berkata: “Dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh keduanya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari kesepuluh dan telah berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Imam Syafi’ie rahimahullah , para shahabatnya, Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah serta yang lainnya berkata: “Dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh keduanya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari kesepuluh dan telah berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Dengan penjelasan diatas
maka berpuasa pada hari ‘Asyura-’ ada beberapa tingkatan: “Yang paling rendah
adalah berpuasa 1 hari (kesepuluh saja), diatasnya berpuasa pada hari
kesembilan bersamanya dan tiap kali memperbanyak berpuasa pada bulan Muharram
maka itu yang lebih utama dan lebih baik.
Hikmat dari penganjuran berpuasa pada hari Tasu’a-’
An Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama dari sahabat kami dan yang lainnya menyebutkan hikmah di dalam penganjuran puasa hari Tasu’a-’, ada beberapa macam:
- Yang pertama: bahwa maksud darinya adalah menyelisihi orang-orang Yahudi ketika mereka hanya mencukupkan hanya hari kesepuluh.
- Yang kedua: bahwa maksud darinya adalah menyambung hari ‘Asyura-’ dengan berpuasa (pada hari sebelumnya), sebagaimana dilarang untuk berpuasa pada hari jum’at secara sendirian, kedua pendapat ini disebutkan oleh al Khaththabi dan yang lainnya.
- Yang ketiga: benar-benar menjaga untuk berpuasa pada hari kesepuluh, karena ditakutkan awal bulan terlalu kecil atau terjadi kesalahan (dalam penglihatan awal bulan-pent), maka hari kesembilan di dalam jumlah sebenarnya hari kesepuluh ketika itu.
- Dan jawaban yang paling kuat adalah menyelisihi ahli kitab, Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk menyerupakan diri dengan ahli Kitab di dalam hadits-hadits yang banyak, seperti sabda beliau:
لَئِنْ عِشْتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ
التَّاسِعَ
Artinya: “Sungguh jika
aku masih hidup pada tahun depan maka sungguh aku akan benar-benar berpuasa
pada hari kesembilan.” (Lihat kitab al-Fatawa al-Kubra juz 6, saddudz dzra-I’
al Mufdiyah)
Hukum berpuasa hari ‘Asyura-’ saja:
Hukum berpuasa hari ‘Asyura-’ saja:
Syaikhul Islam
rahimahullah berkata: “Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa
selama 1 tahun dan tidak dimakruhkan untuk mengkhususkannya dengan berpuasa…
(al Fatawa al Kubra juz 5). Dan di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar
al Haitamy rahimahullah disebutkan: dan hari ‘Asyura-’ tidak mengapa berpuasa
pada hari itu saja… (lihat juz3, bab puasa sunnah).
Boleh berpuasa pada hari ‘Asyura-’ walaupun hari itu hari Sabtu atau Jum’at
Telah ada riwayat tentang larangan berpuasa pada hari Jum’at secara tersendiri dan larangan tentang berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib, tetapi hilang kemakruhannya jika ia berpuasa pada dua hari ini dengan menggambungkan satu hari ke setiap dari keduanya atau bertepatan dengan kebiasaan yang disyari’atkan seperti berpuasa 1 hari dan berbuka 1 hari atau berpuasa sebagai nadzar atau puasa qadha-’ atau puasa yang dianjurkan oleh agama seperti puasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’… (lihat kitab Tuhfatul Muhtaj, juz 3 bab puasa sunnah dan kitab Musykilul Aatsar, juz 2, bab puasa hari Sabtu).
Al Bauhuti rahimahullah
berkata: “Dan dimakruhkan bersengaja berpuasa pada hari Sabtu disebabkan oleh
hadits Abdullah Bin Busyr dari saudara perempuannya:
لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا
افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.
Artinya: “Dan janganlah
kalian berpuasa hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian”. Hadits
riwayat Ahmad dengan sanad yang baik dan Imam hakim, beliau berkata: “Hadits
ini berdasarkan syarat shahih Bukhari. Dan dikarenakan ia adalah hari yang
dimuliakan oleh orang-orang Yahudi, karena pengkhususan berpuasa pada hari itu
saja ada persamaan dengan mereka… ( kecuali apabila bertepatan ) hari Jum’at
atau hari Sabtu ( biasanya) seperti bertepatan dengan hari Arafah atau hari
‘Asyura-’ dan merupakan kebiasaannya berpuasa pada kedua hari itu maka tidak
dimakruhkan, karena suatu adat mempunyai pengaruh di dalam hal tersebut”.
(Lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz2, bab Puasa sunnah)
Apakah yang harus dikerjakan apabila hilal (awal bulan) belum jelas??
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Dan Jika awal bulan masih samar maka ia berpuasa tiga hari, dan sesungguhnya ia kerjakan demikian agar ia yakin pada hari kesembilan dan kesepuluhnya ( kitab al Mughni karya Ibnu qudamah juz 3, shiyam – shiyam bulan ‘Asyura-’)
Barang siapa yang belum mengetahui masuk awal bulan Muharram dan ia ingin berhati-hati untuk hari kesepuluh maka hendaklah ia menggenapkan bulan Dzulhijjah 30 hari sebagaimana kaidah yang dikenal kemudian ia bepuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Dan barang siapa yang menginginkan berhati-hati pada hari kesembilannnya juga maka ia berpuasa pada hari kedelapan dan kesembilan dan kesepuluh ( kalau seandainya Dzulhijjah sebenarnya kurang (dari 30) maka ia telah mendapatkan hari kesembilan dan kesepuluh dengan yakin). Dan mengingat bahwa berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dianjurkan dan tidak diwajibkan maka manusia tidak diperintahkan untuk benar-benar memperhatikan awal bulan sebagaimana mereka diperintahkan untuk benar-benar awal bulan Ramadhan dan Bulan Syawwal.
Puasa hari ‘Asyura-’, menghapuskan apa??
An Nawawi rahimahullah
berkata: “Menghapuskan dosa-dosa kecil, dan taqdirnya adalah menghapuskan
dosa-dosa sipelakunya seluruhnya kecuali dosa-dosa besar”. beliau rahimahullah
berkata juga: “Puasa hari Arafah sebagai penghapus dosa dua tahun dan puasa
‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa satu tahun dan apabila pengucapan “amin” nya
bertepatan dengan para malaikat maka akan diampunkan baginya dosa-dosanya yang
telah… tiap dari perkara yang disebutkan ini bisa digunakan untuk penghapus
dosa, apabila ia mendapatkan sesuatu yang bisa ia hapuskan dari dosa-dosa kecil
maka ia menghapusnya dan apabila tidak mendapatkan dosa-dosa kecil atau besar
maka dituliskan dengan sebabnya berupa kebaikan-kebaikan, dan diangkat untuknya
beberapa derajat dengan sebab itu. Dan apabila ia mendapatkan satu dosa besar
atau beberapa dosa besar dan tidak mendapatkan dosa-dosa kecil maka kita
harapkan ia bisa meringankan dosa besar”. (lihat kitab al Majmu’ Syarah Muhadzdzab,
juz 6, puasa hari Arafah)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan penghapusan dosa (dari pahala) bersuci, shalat, berpuasa bulan Ramadhan, puasa hari Arafah dan hari ‘Asyua-’ hanya untuk dosa-dosa kecil saja. (lihat kitab al Fatawa al Kubra, juz 5 ).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan penghapusan dosa (dari pahala) bersuci, shalat, berpuasa bulan Ramadhan, puasa hari Arafah dan hari ‘Asyua-’ hanya untuk dosa-dosa kecil saja. (lihat kitab al Fatawa al Kubra, juz 5 ).
Jangan terpesona dengan pahala puasa!
Beberapa orang terpesona
dengan menyandarkan pahala puasa hari ‘Asyura-’ atau hari Arafah, sampai-sampai
sebagian dari mereka berkata: “Puasa hari ‘Asyura-’ menghapuskan seluruh
dosa-dosa dalam satu tahun itu, dan tersisa puasa hari Arafah bonus di dalam
pahala.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang yang terperdaya ini tidak menyadari bahwa puasa bulan Ramadhan dan shalat wajib lima waktu lebih agung dan lebih tinggi dari berpuasa pada hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dan ia (shalat lima waktu dan puasa bulan Ramadhan) menghapuskan dosa-dosa diantara keduanya apabila ia menghindari dosa-dosa besar. Puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan, shalat Jum’at ke shalat Jum’at tidak berfungsi untuk menghilangkan dosa-dosa kecil kecuali dengan menggabungkan kepadanya penjauhan akan dosa-dosa besar dan akhirnya gabungan dari dua perkara ini berkekuatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Dan dari orang-orang yang terlena ada yang mengira bahwa keta’atannya lebih banyak dari perbuatan-perbuatan maksiatnya, karena ia tidak menghisab dirinya akan kesalahan-kesalahannya dan tidak mencri-cari akan dosa-dosanya, sedangkan apabila ia telah mengerjakan satu keta’atan maka ia akan menghapalnya dan menghitungnya seperti orang yang beristighfar dengan lisannya atau bertasbih di dalam satu hari 100 kali, kemudian ia menggunjing kaum muslimin dan merobek-robek kehormatannya dan ia ridhai di sepanjang harinya,Uberbicara dengan sesuatu yang tidak Allah maka orang ini selalu melihat keutamaan bertasbih, bertahlil dan tidak menoleh kepada apa yang diriwayatkan dari ancaman bagi orang-orang penggunjing, pendusta dan pengadu domba serta selain daripada itu yang berupa penyakit-penyakit lisan, dan hal demikian itu adalah benar-benar penipuan. (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah, juz 31, ghurur)
Berpuasa hari ‘Asyura-’ dalam keadaan masih punya tanggungan dari puasa Ramadhan
Para Ahli Fiqh berbeda pendapat di dalam hukum mengerjakan puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan, Madzhab Hanafy berpendapat diperbolehkan berpuasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan tanpa ada kemakruhan dikarenakan menggantinya tidak wajib dengan segera dan madzhab Maliky dan Syafi’i berpendapat diperbolehkan berpuasa dengan kemakruhan dikarenakan akan menta’khirkan suatu yang wajib. Ad Dasuqy berkata: “Dimakruhkan berpuasa sunnat atas siapa yang mempunyai tanggungan puasa wajib seperti orang yang bernadzar, puasa qadha, puasa sebagai (kaffarah) penebus sesuatu, baik puasa sunnah yang ia dahulukan dari puasa wajib itu tidak ditekankan atau ditekankan, seperti puasa ‘Asyura-’, puasa tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah menurut pendapat yang lebih utama. Dan Madzhab Hanbali berpendapat akan keharaman puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan dan tidak sahnya berpuasa sunnah waktu itu walaupun masih panjang waktu untuk mengqadha-’. Dan diharuskan untuk memulai dengan mengerjakan yang wajib sampai ia selesai mengqadha-’nya (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah juz 28:puasa sunnah)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang yang terperdaya ini tidak menyadari bahwa puasa bulan Ramadhan dan shalat wajib lima waktu lebih agung dan lebih tinggi dari berpuasa pada hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dan ia (shalat lima waktu dan puasa bulan Ramadhan) menghapuskan dosa-dosa diantara keduanya apabila ia menghindari dosa-dosa besar. Puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan, shalat Jum’at ke shalat Jum’at tidak berfungsi untuk menghilangkan dosa-dosa kecil kecuali dengan menggabungkan kepadanya penjauhan akan dosa-dosa besar dan akhirnya gabungan dari dua perkara ini berkekuatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Dan dari orang-orang yang terlena ada yang mengira bahwa keta’atannya lebih banyak dari perbuatan-perbuatan maksiatnya, karena ia tidak menghisab dirinya akan kesalahan-kesalahannya dan tidak mencri-cari akan dosa-dosanya, sedangkan apabila ia telah mengerjakan satu keta’atan maka ia akan menghapalnya dan menghitungnya seperti orang yang beristighfar dengan lisannya atau bertasbih di dalam satu hari 100 kali, kemudian ia menggunjing kaum muslimin dan merobek-robek kehormatannya dan ia ridhai di sepanjang harinya,Uberbicara dengan sesuatu yang tidak Allah maka orang ini selalu melihat keutamaan bertasbih, bertahlil dan tidak menoleh kepada apa yang diriwayatkan dari ancaman bagi orang-orang penggunjing, pendusta dan pengadu domba serta selain daripada itu yang berupa penyakit-penyakit lisan, dan hal demikian itu adalah benar-benar penipuan. (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah, juz 31, ghurur)
Berpuasa hari ‘Asyura-’ dalam keadaan masih punya tanggungan dari puasa Ramadhan
Para Ahli Fiqh berbeda pendapat di dalam hukum mengerjakan puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan, Madzhab Hanafy berpendapat diperbolehkan berpuasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan tanpa ada kemakruhan dikarenakan menggantinya tidak wajib dengan segera dan madzhab Maliky dan Syafi’i berpendapat diperbolehkan berpuasa dengan kemakruhan dikarenakan akan menta’khirkan suatu yang wajib. Ad Dasuqy berkata: “Dimakruhkan berpuasa sunnat atas siapa yang mempunyai tanggungan puasa wajib seperti orang yang bernadzar, puasa qadha, puasa sebagai (kaffarah) penebus sesuatu, baik puasa sunnah yang ia dahulukan dari puasa wajib itu tidak ditekankan atau ditekankan, seperti puasa ‘Asyura-’, puasa tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah menurut pendapat yang lebih utama. Dan Madzhab Hanbali berpendapat akan keharaman puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan dan tidak sahnya berpuasa sunnah waktu itu walaupun masih panjang waktu untuk mengqadha-’. Dan diharuskan untuk memulai dengan mengerjakan yang wajib sampai ia selesai mengqadha-’nya (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah juz 28:puasa sunnah)
Maka dari itu hendaklah seorang
muslim bersegera mengqadha-’ setelah bulan Ramadhan agar memungkinkannya untuk
mengerjakan puasa Arafah Dan ‘Asyura-’ tanpa ada kesulitan, dan apabila ia
berpuasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dengan niat dari malam hari mengqadha-’
maka hal yang demikian itu telah mencukupi di dalam pengqadha-’an puasa yang
wajib.
Bid’ah-bid’ah pada hari ‘Asyura-’
Bid’ah-bid’ah pada hari ‘Asyura-’
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah ditanya tentang perbuatan yang dikerjakan manusia pada
hari ‘Asyura-’ seperti bercelak, mandi, memakai pacar, saling bersalaman,
memasak biji-bijian dan memperlihatkan kesenangan serta yang lainnya… Apakah
yang demikian itu ada dasarnya atau tidak?
Dijawab: “Segala puji
milik Allah Rabb semesta alam, tidak ada di dalam hal ini satu riwayat hadits
shahihpun dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari para
shahabatnya, tidak dianjurkan pula oleh satupun dari para Imam yang empat akan
hal tersebut, tidak pula dari selain mereka dan para pengarang kitab-kitab
mu’tabar (terpandang) juga tidak meriwayatkan sesuatupun dalam hal ini dan
tidak dari riwayat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari para
shahabat, juga dari tabi’in, tidak ada dari hadits yang shahih, tidak juga dari
hadits yang lemah. Tetapi sebagian orang-orang generasi terakhir telah
meriwayatkan dalam perkara ini beberapa hadits, seperti apa yang mereka
riwayatkan bahwa; “Barangsiapa yang bercelak pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak
akan pedih matanya pada tahun itu”, dan “Barang siapa yang mandi pada hari
‘Asyura-’ maka ia tidak akan sakit pada tahun itu” dan yang semisal dengan itu…
dan bahkan mereka telah meriwayatkan sebuah hadits palsu mendustakan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bahwasanya barang siapa yang bermurah
atas keluarganya pada hari ‘Asyura-’ maka Allah Akan melapangkan rizqinya
sepanjang tahun”. Dan seluruh riwayat-riwayat ini tentang Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bohong.
Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan secara ringkas apa yang telah terjadi pada awal mula umat ini berupa kekacauan-kekacauan, kejadian-kejadian dan terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhuma serta apa yang dikerjakan oleh beberapa kelompok disebabkan hal itu, beliau juga berkata: “Lalu timbullah kelompok yang bodoh dan zhalim, baik itu kelompoknya orang mulhid munafik atau kelompok sesat yang berlebihan yang memperlihatkan kecintaan kepadanya dan kepada Ahlu Bait, kelompok tersebut menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari berkabung, kesedihan dan ratapan. Dan kelompok itu memperlihatkan di dalam hari itu syi’ar-syi’ar orang-orang jahiliyah berupa pemukulan wajah, pengrobekan kantong-kantong baju, dan bertakziyah bak layaknya orang jahiliyah… dan mensenandungkan kashidah-kashidah kesedihan, menceritakan riwayat-riwayat yang di dalamnya terdapat penuh dengan kebohongan. Dan tidak ada kejujuran di dalam peringatan ini kecuali saling berganti tangis, fanatisme, penyebaran kebencian dan perperangan, menyebarkan fitnah diantara umat Islam, menjadikan hal yang demikian itu untuk mencaci para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam…kesesatan dan bahaya mereka terhadap umat Islam tidak bisa dihitung oleh orang yang fasih di dalam berbicara, sedangkan yang menentang mereka ada beberapa kelompok, baik itu dari orang-orang Nawashib yang sangat benci terhadap Husein dan Ahlu Bait radhiyallahu ‘anhum atau dari orang-orang bodoh yang melawan kerusakan dengan kerusakan, kebohongan dengan kebohongan, kejelekan dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah maka mereka membuat kabar-kabar palsu di dalam syi’ar-syi’ar kebahagian dan kesenangan pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak dan memakai pacar, dan banyak memberikan nafkah kepada keluarga, memasak makanan-makanan tidak seperti biasanya dan seperti yang lainnya dari pekerjaan yang dikerjakan pada hari-hari raya dan musim-musim bersejarah. Maka mereka (kelompok kedua-pent) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai musim hari raya dan kesenangan sedangkan mereka (kelompok pertama) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari kesusahan, mereka mendirikan di dalamnya kesedihan dan kesenangan dan keduanya telah melakukan kesalahan keluar daripada sunnah… (al Fatawa al Kubra milik Ibnu Taimiyah rahimahullah ).
Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan secara ringkas apa yang telah terjadi pada awal mula umat ini berupa kekacauan-kekacauan, kejadian-kejadian dan terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhuma serta apa yang dikerjakan oleh beberapa kelompok disebabkan hal itu, beliau juga berkata: “Lalu timbullah kelompok yang bodoh dan zhalim, baik itu kelompoknya orang mulhid munafik atau kelompok sesat yang berlebihan yang memperlihatkan kecintaan kepadanya dan kepada Ahlu Bait, kelompok tersebut menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari berkabung, kesedihan dan ratapan. Dan kelompok itu memperlihatkan di dalam hari itu syi’ar-syi’ar orang-orang jahiliyah berupa pemukulan wajah, pengrobekan kantong-kantong baju, dan bertakziyah bak layaknya orang jahiliyah… dan mensenandungkan kashidah-kashidah kesedihan, menceritakan riwayat-riwayat yang di dalamnya terdapat penuh dengan kebohongan. Dan tidak ada kejujuran di dalam peringatan ini kecuali saling berganti tangis, fanatisme, penyebaran kebencian dan perperangan, menyebarkan fitnah diantara umat Islam, menjadikan hal yang demikian itu untuk mencaci para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam…kesesatan dan bahaya mereka terhadap umat Islam tidak bisa dihitung oleh orang yang fasih di dalam berbicara, sedangkan yang menentang mereka ada beberapa kelompok, baik itu dari orang-orang Nawashib yang sangat benci terhadap Husein dan Ahlu Bait radhiyallahu ‘anhum atau dari orang-orang bodoh yang melawan kerusakan dengan kerusakan, kebohongan dengan kebohongan, kejelekan dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah maka mereka membuat kabar-kabar palsu di dalam syi’ar-syi’ar kebahagian dan kesenangan pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak dan memakai pacar, dan banyak memberikan nafkah kepada keluarga, memasak makanan-makanan tidak seperti biasanya dan seperti yang lainnya dari pekerjaan yang dikerjakan pada hari-hari raya dan musim-musim bersejarah. Maka mereka (kelompok kedua-pent) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai musim hari raya dan kesenangan sedangkan mereka (kelompok pertama) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari kesusahan, mereka mendirikan di dalamnya kesedihan dan kesenangan dan keduanya telah melakukan kesalahan keluar daripada sunnah… (al Fatawa al Kubra milik Ibnu Taimiyah rahimahullah ).
Ibnu Hajj rahimahullah
menyebutkan termasuk dari perbuatan-perbuatan bid’ah hari ‘Asyura-’ adalah
sengaja mengeluarkan zakat di dalamnya baik itu diakhirkan atau di majukan
(dari waktu asalnya) dan mengkhususannya dengan menyembelih ayam dan juga para
wanita memakai pacar. (al Madkhal juz 1, hari ‘Asyura-’).Kita memohon kepada
Allah agar termasuk dari orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah nabinya
yang mulia, dan semoga kita di hidupkan di atas agama Islam, diwafatkan di atas
keimanan, semoga Allah memberikan kita taufik untuk mengerjakan apa yang Dia
cintai dan ridhai. Dan kita memohon kepada Allah agar menolong kita untuk bisa
mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, mengerjakan ibadah kepada-Nya dengan baik,
menerima (amal ibadah) dari kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang
bertakwa dan merahmati kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kepada para keluarga serta seluruh shahabat beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar